Penulis : Sukarjo Waluyo

Tari Soreng lestari dan dimainkan secara temurun di Gunung Merbabu, Jawa Tengah. (Foto: Sukarjo Waluyo)

Tari Soreng adalah tari tradisional Jawa yang berupa tari keprajuritan. Tari Soreng melukiskan salah satu peperangan legendaris pada akhir kekuasaan Kesultanan Demak Bintoro. Tari keprajuritan ini sangat populer di daerah Kabupaten Magelang, khususnya di Kecamatan Ngablak yang terletak di punggung utara Gunung Merbabu. Pementasan diawali dengan narasi singkat oleh salah satu pemusik yang melukiskan jatidiri Arya Penangsang dan Laskar Soreng dari Kadipaten Jipang Panolan. Keunikan tari keprajuritan ini menjadi objek pengabdian Insentif Untuk Desa Binaan Undip (IDBU) LPPM UNDIP Semarang, yaitu Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) sebagai ketua tim pengabdian dan Dr. Redyanto Noor, M.Hum. dari Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) 2022. Pengabdian dengan objek kesenian tradisional tari Soreng tersebut bertujuan untuk membuat dokumentasi tari Soreng Komunitas Warga Setuju Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.

Adipati Arya Penangsang, Patih Mataun, dan Laskar Soreng tampak sedang melakukan latihan perang di alun-alun kadipaten. Sang Adipati yang didampingi patih Mataun merasa bangga melihat semangat dan kehebatan prajuritnya berlatih keras jika suatu saat harus melakukan peperangan. Sultan Hadiwijaya dan Kesultanan Pajang dianggap sebagai musuh yang sewaktu-waktu menyerang. Sesekali irama keras suara musik yang memekakkan telinga membangun kesan bahwa Laskar Soreng dan Kadipaten Jipang Panolan adalah prajurit yang tidak akan bisa dikalahkan.

Dalam sebuah pementasan Tari Soreng, saya pernah menyaksikan sebuah pertunjukan yang mementaskan sampai terbunuhnya Arya Penangsang yang dilukiskan secara dramatis. Tepatnya saat pementasan  grup kesenian Komunitas Soreng Warga Setuju (KSWS) Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang pada acara Merti Bumi 19 November 2017 di Desa Gaged, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Pementasan yang menggunakan kostum Mataraman ini berakhir sampai Arya Penangsang gugur dengan dramatis di tepi Bengawan Sore dengan iringan musik kesedihan yang memilukan.

Pementasan awalnya dimulai dengan kehadiran penari (rata-rata masih remaja) yang menyanyikan dan menarikan tembang dolanan: lagu Jawa anak-anak yang berirama rancak dan bernuansa kebahagiaan yang menggunakan metafor alam di sekitarnya). Bagian adegan ini lebih menggambarkan situasi sosial dan budaya pegunungan masyarakat di sekitar Gunung Merbabu dan Gunung Andong dalam sebuah seni pertunjukan. Bagian ini untuk menunjukkan keakraban kesenian Soreng dengan warga setempat yang mungkin bisa saja berubah jika dipentaskan di tempat atau daerah lain. Tingkah polah lucu anak-anak yang melukiskan permainan dakon, gobag sodor, benthik, dan lain-lain sangat menyita ratusan (atau bahkan ribuan) penonton.

Pagelaran tari Soreng disaksikan ribuan pasang mata. (Foto: Sukarjo Waluyo)

Tingkah polah lucu anak-anak anak yang sedang asyik bermain tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran Buto Galak (raksasa jahat) yang mengacaukan dan mengobrak-abrik suasana dolanan (permainan). Anak-anak bingung dan lari kesana-kemari sambil ketakutan. Saat itulah muncul seorang ksatria muda yang tampan. Ksatria yang mampu mengalahkan Buto Galak dan mengembalikan suasana kembali tenang dan tenteram itu adalah Danang Sutawujaya (Raden Ngabehi Lor-ing-Pasar), anak angkat Sultan Hadiwijaya. Suasana yang kembali tenang dan tenteram tersebut dilanjutkan dengan tarian dan lagu-lagu campur sari atau lagu Jawa lain yang sedang populer di masyarakat. Penyanyi campursari tampaknya sengaja didatangkan untuk menambah daya tarik pertunjukan bagi penonton yang ‘menyemut’ tersebut.

Setelah tarian dan nyanyian dirasa cukup, tiba-tiba muncullah laki-laki penunggang kuda Gagak Rimang yang tidak lain adalah Adipati Arya Penangsang. Ia berteriak-teriak keras dan lantang memanggil Hadiwijaya untuk berperang-tanding. Anak-anak yang telah selesai menari dan menyanyi pun kembali ketakutan, kaget, dan menyingkir di bagian pinggir pementasan.

Kehadiran Adipati Arya Penangsang disambut oleh ksatria muda dan tampan yang sebelumnya telah berhasil mengalahkan Buto Galak, yaitu Danang Sutawujaya. Dalam perang tanding tersebut, Danang Sutawijaya berhasil melukai lambung Arya Penangsang dengan senjata tombak Kyai Plered. Usus Arya Penangsang pun terburai keluar, tetapi tetap bisa melanjutkan perang dengan menyampirkan usus pada gagang keris Brongot Setan Kober di bagian punggungnya.

Arya Penangsang yang terkenal sakti itu nyaris mampu membunuh Danang Sutawijaya yang sudah dalam kunciannya. Namun, pada saat ia mengambil keris Brongot Setan Kober di bagian punggungnya untuk membunuh Danang Sutawijaya, keris justru memotong ususnya sendiri yang sebelumnya disampirkannya. Arya Penangsang pun tewas dengan kerisnya sendiri.

Jipang yang Dimusuhi Kesultanan Pajang

Perseteruan antara Arya Penangsang yang mewakili kepentingan Jipang dengan Hadiwijaya yang mewakili Pajang yang dalam pementasan Tari Soreng hanya sedikit saja memanfaatkan dialog. Namun, ada beberapa hal yang diungkapkan secara simbolik. Pertama, Tari Soreng yang menggunakan penyebutan Haryo Penangsang berhadapan dengan Danang Sutawijaya memperlihatkan adanya upaya untuk menjatuhkan martabat kebangsawanan Arya Penangsang. “Haryo” adalah sebutan gelar untuk ksatria utama dari bangsawan keraton di Jawa yang sama dengan “Raden”. Sementara itu, “Danang” adalah panggilan masyarakat Jawa untuk anak laki-laki yang masih kecil atau menjelang remaja.

Kedua, Adipati Jipang berhadapan dengan anak yang baru menginjak usia remaja. Tari Soreng menggambarkan Adipati Jipang yang sangat berkuasa berhadapan dengan anak yang baru menginjak remaja dan belum memiliki kedudukan. Hal ini melambangkan maksud untuk meremehkan sosok Arya Penangsang.

Tari Soreng ditampilkan dalam sebuah perhelatan di Magelang. (Foto: Sukarjo Waluyo)

Ketiga, keris Brongot Setan Kober berhadapan dengan tombak Kiai Plered. Tari Soreng melukiskan keris pusaka yang sangat terkenal di daerah Jawa pesisir utara yang bernama keris Brongot Setan Kober, tetapi kesaktiannya tidak membantu Arya Penangsang dalam peperangan. Tombak Kiai Plered, kelak menjadi pusaka Kesultanan Mataram, yang digunakan sebagai senjata Danang Sutawijaya justru mampu merobek lambung Arya Penangsang. Pada akhir pementasan, Arya Penangsang dikisahkan ususnya terpotong oleh kerisnya sendiri, keris Brongot Setan Kober. Hal ini juga menyiratkan bahwa kejayaan Jawa pesisir utara sudah berakhir dan digantikan oleh daerah Jawa pedalaman.

Keempat, kuda Gagak Rimang berhadapan dengan kuda belo (kuda kecil/pendek, tidak selalu tampil dalam pementasan). Tari Soreng menampilkan kuda perang Gagak Rimang yang tinggi besar berwarna hitam yang dinaiki Arya Penangsang berhadapan dengan kuda belo (kuda kecil/pendek) yang dinaiki oleh Danang Sutawijaya. Bagian ini meyiratkan bahwa kekuatan bisa dikalahkan dengan kecerdikan dan kepandaian.

Pementasan di atas meskipun menampilkan sebuah cerita yang pakem (sesuai cerita asli), tetapi tetap bisa memasukkan unsur-unsur lokalitas budaya lereng Gunung Merbabu dan Gunung Andong dalam bentuk lagu dolanan dan permainan tanpa mengganggu keutuhan cerita. Tari Soreng adalah tari tradisional Jawa yang berupa tari keprajuritan yang populer di daerah Kabupaten Magelang dan sekitarnya.

Sukarjo Waluyo

Penulis adalah dosen dan peneliti pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang