Khothibul Umam, S.S., M.Hum., dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Diponegoro telah melakukan riset terhadap teater pantura di 12 kota. Kota- kota tersebut mencakup Brebes, kabupaten dan kota Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Jepara, Kudus, Pati, dan Rembang.  Riset tersebut berlangsung selama satu tahun dan menghasilkan luaran berupa dokumentasi audio visual yang dipublikasikan di youtube “Forum Senin Legi”. Puncak dari kegiatan tersebut berupa seminar panggung pantura yang digelar di Gedung Serba Guna (GSG), Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro pada Rabu, 13 September 2023.

Selain Khothibul Umam, S.S., M.Hum., narasumber lain yang hadir dan menyuarakan pemikirannya adalah Afrizal Malna dan Martin Suryajaya. Acara dibuka dengan pertunjukkan monolog oleh Eko Tunas dan ditutup dengan pementasan fragmen dari teater Minatani Pati.

“Dalam konteks perbincangan kebudayaan, pantura tidak sekedar wilayah geografis, Jawa Pesisir adalah ruang, ada dinamika yang menarik, kebudayaan yang terus berkembang, dinamika yang terus berjalan, saya melihat dengan bangga, pantura sangat mewah” ucap Dr. Sukarjo Waluyo, M.Hum. pada sambutan pembukaannya di Seminar Panggung Pantura.

Khothibul Umam, S.S., M.Hum. selaku peneliti menyatakan bahwa terdapat 28 teater dari 12 kota yang bisa diinvetarisir. Ia ingin membangun situs panggung pantura “Forum Senin Legi” untuk merekam dinamika seni pantura di jawa Tengah. Usaha ini dilakukan agar dokumentasi seni bisa diakses secara mudah dan inklusif karena sejauh ini platform seni pertunjukkan khususnya teater di jawa Tengah masih sangat jarang.

“Hal menarik dari temuan di lapangan tidak semuanya memiliki latar belakang pendidikan teater secara formal, hanya terdapat empat orang. Tulang punggung bagaimana teater bergenerasi di pantura, itu teater kampus” tegas Khothibul Umam, S.S.,M.Hum.

Lebih lanjut, Afrizal Malna menunjukkan ekosistem teater di Indonesia yang terdiri dari tiga aktivasi yakni  teater kota, teater kampus, dan teater komunitas. Namun sejauh ini teater kampus belum banyak berkontribusi dalam segi estetika, karena cenderung masih mengacu pada teater umum.

“Teater kampus ternyata sampai sekarang berorientasi pada teater umumnya, teater kampus belum menjadi bagian dari spesifikasi akademis di masing-masing kampus” ucap Afrizal Malna. Ia juga mengaskan bahwa tantangan teater di era digital bergantung pada otoritas kita terhadap teknologi.

Martin Suryajaya pada kesempatan yang sama berbicara tentang budaya pantura secara umum. Budaya pantura adalah campuran berbagai budaya, tempat persilangan, yang menunjukkan corak hibrida sehingga tidak ada keharusan untuk menginduk pada satu pakem tertentu. Menurutnya hal tersebut bukanlah sesuatu yang negatif, justru dengan begitu budaya dapat dipraktekkan tanpa beban. Meskipun demikian, tidak semua budaya di pantura sepenuhnya terbebas dari pakem.

Acara ditutup dengan pertunjukkan repetoar Rukti Lakuna oleh teater Minatani yang telah secara konsisten dtampilkan selama satu tahun terakhir di malam bulan purnama. Serangkaian acara ini menunjukkan bahwa dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro telah memiliki peran yang besar dalam upaya pelestarian kesenian khususnya di era digital.

(Marta)