Dalam memperingati 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Diponegoro (UNDIP) bersama Dewan Kesenian Semarang (Dekase) menggelar acara bertajuk Seabad Pram Sejagat Kalam pada Kamis (24/04/2025) di gedung Art Center UNDIP.

Acara “Seabad Pram Sejagat Kalam” digelar dengan dua rangkaian kegiatan, salah satunya adalah sesi diskusi sastra bersama Dr. Martin Suryajaya dengan tema Membaca Tetralogi sebagai Metafiksi. Pada sesi ini, Dr. Martin membahas novel Rumah Kaca, bagian terakhir Tetralogi Buru dengan pendekatan metafiksi, bukan sekadar karya realis sejarah  kebangsaan.

Dr. Martin mengungkapkan bahwa Rumah Kaca menandai pergeseran perspektif narasi dalam tetralogi tersebut. Berbeda dari tiga novel sebelumnya yang membangun narasi heroik melalui sudut pandang tokoh Minke, Rumah Kaca justru diceritakan melalui sudut pandang Jacques Pangemanann, seorang peranakan Manado yang menjabat sebagai komisaris polisi kolonial sehingga perspektif pembaca mengalami pergeseran ke dalam tubuh kekuasaan kolonial.

Menurut Dr. Martin, Rumah Kaca menjadi kunci untuk memahami ambivalensi naratif Tetralogi Buru. Pangemanann bukan sekadar antagonis, melainkan sosok yang terpecah
secara identitas dan moral. Ia adalah “inlander” yang diberi kuasa kolonial, terjebak di antara
ide-ide Minke dan loyalitas pada sistem kolonial yang menindas. Melalui proses membaca dan mengarsipkan naskah-naskah Minke, Pangemanann mengalami perubahan batin, menjadi mesin negara yang justru diam-diam mewarisi pemikiran lawannya.

Dalam pemaparannya, Dr. Martin juga menyoroti unsur metafiksi dalam Rumah Kaca. Melalui pengamatan Pangemanan terhadap tokoh pergerakan seperti Minke, cerita ini menunjukkan kesadaran akan proses penceritaan itu sendiri. Dengan kata lain, Rumah Kaca tidak hanya menceritakan kisah penindasan, tetapi juga menggambarkan bagaimana cerita sejarah dibuat, diawasi, dan bahkan dapat dimanipulasi oleh kolonial.

Menutup pembahasannya, Dr. Martin menyampaikan bahwa Rumah Kaca menghadirkan
kompleksitas realisme yang berbeda dari karya-karya sebelumnya. Novel ini memadukan
realisme dengan nuansa modernisasi dunia ketiga, sekaligus menggambarkan dinamika penuh kontradiksi dalam proses pembentukan kesadaran nasional. Sebagai peserta acara, saya merasa bahwa pemaparan Dr. Martin membuka perspektif baru tentang bagaimana Tetralogi Buru, khususnya Rumah Kaca, bukan hanya karya sastra historis, tetapi juga refleksi mendalam atas mekanisme kuasa dalam membentuk sejarah dan identitas. Pembaca ulang Rumah Kaca melalui kacamata metafiksi menjadi ajakan untuk lebih kritis terhadap narasi-narasi besar yang membentuk pemahaman kita hari ini.

Penulis: Prihartini (13010123130089)