Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengundang pakar filologi dari Universitas Airlangga, Moh. Ali, SS., M.A. Min., Ph.D., dan pakar sastra pesisiran dari Universitas Diponegoro, Dr. Sukarjo Waluyo, SS., M.Hum. untuk menghadiri kuliah umum dengan tema “Sastra dan Manuskrip Pesisiran” pada Senin, 16 Juni 2025.
“Manuskrip pesisiran betul-betul menggabungkan dua tradisi besar, Arya Cosmopolis dan Arabian Cosmopolis,” kata Moh. Ali.
Moh. Ali membahas bagaimana bahasa dan budaya Sansekerta mempengaruhi sastra dan budaya daerah pesisiran.
Dia kemudian berbicara tentang bagaimana aksara Arab digunakan di Nusantara oleh orang Arab.
Selain itu, berkaitan dengan bagaimana kedua bahasa tersebut berdampak pada tradisi naskah pesisiran. Untuk saat ini, materi berjudul “Cerita Rakyat dan Manuskrip Jawa Pesisir: Inspirasi Produksi Sastra di Era Kekinian” disampaikan oleh Sukarjo Waluyo.
Dalam pemaparannya, Sukarjo menyatakan bahwa salah satu ciri sastra pesisiran adalah terpengaruh dengan ajaran Islam karena berada di wilayah santri.
Sukarjo memberikan presentasi tentang karya sastra pesisiran yang menarik bagi orang di luar wilayah pesisir saat masih berada di koridor pesisiran.
Selain itu, dosen Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro menampilkan berbagai jenis karya sastra pesisiran, khususnya yang berkaitan dengan wilayah pesisir Laut Jawa.
Sukarjo percaya bahwa sastra yang terinspirasi dari wilayah pesisiran Indonesia akan terus muncul karena potensi yang dimilikinya.
Diharapkan mahasiswa Sastra Indonesia di UNS dapat memperoleh pemahaman tentang potensi wilayah pesisiran melalui kuliah umum dengan tema sastra pesisiran ini.
Sastra Pesisiran Pantura Berbahasa Indonesia
Sumber inspirasi untuk karya sastra ini berasal dari tradisi, budaya, dan konteks sosial orang-orang di pesisir Jawa. Ini berbeda dengan “Jawa standar” yang mengikuti gambaran Jogja dan Solo.
Islam banyak memengaruhi sastra Jawa Pesisiran, terutama dalam bentuk suluk dan syairan. Suluk adalah sastra yang berisi ajaran kerohanian tasawuf, sedangkan syairan adalah puisi yang sering mengandung ajaran agama dan nilai-nilai spiritual.
Sumber lokal, seperti cerita rakyat, babad, dan serat, juga ditemukan dalam sastra pesisiran.
Babad adalah cerita sejarah yang menggambarkan peristiwa penting dalam sejarah suatu wilayah, sedangkan cerita rakyat adalah cerita yang diwariskan dari nenek moyang dan mengandung unsur magis. Karya sastra yang menyampaikan pemikiran penulis saat ini disebut serat.
Berbeda dengan bahasa Jawa konvensional yang lebih filosofis dan halus, sastra Pesisiran biasanya menggunakan bahasa yang lebih lugas dan ekspresif.
Ini mencerminkan cara masyarakat pesisir berkomunikasi yang lebih langsung dan terbuka. Filosofi, norma, dan cara hidup orang-orang yang tinggal di pesisir sering digambarkan dalam karya sastra pesisir. Ini dapat ditemukan dalam berbagai genre sastra, termasuk babad, cerita rakyat, dan serat.
Melalui berbagai bentuk sastra, seperti syi’ir, dan seni pertunjukan, seperti wayang kulit pesisiran, sastra pesisiran menunjukkan kreativitas lokal.
Buku Kuntul Nucuk Mbulan dan Bau
Novel berbahasa Indonesia, seperti Kuntul Nucuk Mbulan dan Bau, mendapatkan inspirasi dari daerah Pantura.
Novel yang ditulis oleh Sahal Japara, Kuntul Nucuk Mbulan, bercerita tentang pencarian jati diri seorang santri. Novel ini mengangkat wejangan peninggalan Syekh Mutamakkin (1645–1740), yang tertawakan tentang gaya Masjid Kajen yang menarik.
Pakubuwana II kemudian menyimpulkan bahwa keyakinan Mutamakkin tentang hak adalah untuk dirinya sendiri. Studi S. Soebardi berjudul Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan (Pengadilan K.H.A. Mutamakkin & Fenomena Shaikh Siti Jenar) diterbitkan pada tahun 2004 oleh Penerbit Nuansa dan membahas tentang Kiai Cabolek atau Syekh Mutamakkin.
Masjid peninggalan, mimbar, inskripsi beraksara pegon dan Arab, dan hiasan masjid menunjukkan keberadaan Syekh Mutamakkin.
Salah satu wejangan Syekh Mutamakkin adalah Kuntul Nucuk Mbulan dan Sing Pendhitku Ngusap ing Mbun.
Wejangan pertama dibuat karena orang-orang di Desa Kajen membacanya secara turun-temurun, seperti yang tergambar di bagian belakang mimbar.
Hasil dari membaca inskripsi beraksara pegon pada papan bersurat pengimaman masjid memberikan wejangan kedua.
Serat Cabolek mencatat reputasi masa lalu Syekh Mutamakkin. Banyak rombongan datang ke makam Syekh Mutamakkin dari berbagai tempat. Haul Syekh Mutamakkin juga diadakan setiap bulan Muharram (Syuro).
Novel Kuntul Nucuk Mbulan menafsirkan riwayat dan wejangan Syekh Mutamakkin.
teks mitologis seperti “Kuntul Nucuk Mbulan” dan “Sing Pendhitku Ngusap ing Mbun”
Penelitian Muh. Taufiqul Hakim dilakukan melalui pembacaan filologis novel tersebut. Penelitian tersebut juga menyelidiki bagaimana kedua makna teks folklor tersebut berasal, baik di masyarakat maupun dari motif yang tergurat pada ragam hias Masjid Kajen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat pewaris teks folklor hanya memahaminya tanpa membacanya lagi.
Pada saat yang sama, novel ini menyampaikan pemahaman tersebut ke dalam karya baru yang lebih relevan dengan eranya. Alkisah, ulama kampung Haji Ahmad Mutamakkin membangun Kraton Kertasura pada awal abad ke-18.
Dalam manuskrip yang ditulis oleh kraton yang menggambarkan peristiwa tersebut, Serat Cabolek menyebut sang ulama sebagai Syekh Mutamakkin, juga dikenal sebagai Kiai Cabolek.
Mutamakkin dianggap melanggar hukum karena dia sering mempergelarkan wayang Dewa Ruci, mengajarkan hukum kepada penonton, dan merawat dua anjing.
Laut Cabolek menyatakan bahwa ini membuat para ulama di Pantura marah. Selain itu, para ulama meminta Kraton untuk mengadili Syekh Mutamakkin.
Keputusan yang dibuat oleh Pakubuwana II tidak diduga. Mutamakkin diberi kemaafan. Keputusan Pakubuwana II didasarkan pada pendapat Mutamakkin tentang cerita Dewa Ruci selama perjalanan dari Desa Cabolek ke Kartasura, dan Pakubuwana II percaya bahwa sikapnya yang memilih irit bicara saat disidang adalah pilihan yang tepat.
Dalam upayanya untuk menafsirkan wejangan-wejangan tersebut, ia berusaha menggunakan bahasa anak muda yang khas dari pesantren. Fauzan, yang dikenal sebagai Paejan, adalah seorang santri di Desa Kajen dalam buku ini.
Sehari-hari Paejan belajar di madrasah, mengaji kitab-kitab salaf, belajar makna gandul, nasihat- nasihat para kiai, misi membahagiaan orang tua, dan persoalan cinta yang tumbuh ala anak pesantren yang dikisahkan melalui surat-suratan bangku.
Pencarian jati diri Paejan sebagai tokoh utama dimulai ketika ia diwejang oleh Mbah Jogo, pengasuh pesantren Al Hikam, untuk mencari makna Kuntul Nucuk Mbulan dan Sing Pendhitku Ngusap ing Mbun.
Kuntul Nucuk Mbulan dimaknai sebagai seekor burung yang dapat hidup di mana saja dan mempunyai sifat qonaah.
Simbol tersebut merupakan perlambang bahwa manusia harus senantiasa tirakat jika ingin diangkat derajatnya.
Hal ini dilambangkan dengan burung kuntul yang terbang mematuk cahaya rembulan sebagai simbol mencapai segala tujuan.
Sing Pendhitku Ngusap Ing Mbun dimaknai sebagai pesan kepada santri agar tidak lupa memohon restu dalam menuntut ilmu dan rendah hati kepada guru.
Novel Kuntul Nucuk Mbulan telah dicetak empat kali, masing-masing sekitar 1.000 eksemplar. Novel dipasarkan secara daring dan beredar di toko-toko buku wilayah Desa Kajen dan Kecamatan Margoyoso.
Novel ini kerap dibicarakan di sekolah-sekolah wilayah Kabupaten Pati. Sebagai peninggalan masa lampau, konon karya Syekh Mutamakkin sendiri, teks tersebut sangat disakralkan.
Masyarakat Desa Kajen mendudukkan teks tersebut sebagai wejangan hidup yang harus diamalkan. Selanjutnya, kedua teks tersebut diterima begitu saja dari zaman ke zaman dan sampai saat ini.
Penafsiran senantiasa disampaikan oleh para sepuh kepada anak-anaknya, dibahas ketika peringatan Haul setiap Syuro, serta forum-forum pengajian yang kebetulan berkaitan dengan riwayat perjuangan Syekh Mutamakkin.
Sementara itu, novel Bau berisi pencarian jati diri dan identitas daerah Kendal kekinian karya Gunoto Saparie.
Novel ini mengangkat kebesaran masa lalu Kaliwungu dan Kendal yang pada masa lalu merupakan daerah penting di Pesisir Jawa.
Melalui tokoh Tumenggung Bahurekso, mantan wartawan senior dan mantan Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) tersebut sangat fasih mengisahkan perjalanan kebesaran masa lalu Kaliwungu, Kendal, dan Tumenggung Bahurekso.
Bahurekso digambarkan sebagai pemimpin pesisir yang cerdas, tangkas, dan bisa menjadi inspirasi bagi pembangunan Kabupaten Kendal dan daerah lain di Pesisir Jawa.
Juga digambarkan sebagai sosok yang lihai berdiplomasi di antara 2 arus utama yang tengah beradu kuat di arena Laut Jawa, Sultan Agung dan VOC.
Sukarjo mengungkapkan bahwa penulis novel Bau ini ingin menggambarkan bagaimana kebesaran pesisir Jawa saat masa lampau. Hal itu dilakukan untuk memacu anak-anak muda sekarang agar menjadi lebih bersemangat.
“Bisa jadi Mas Gunoto ingin menyampaikan dan mengingatkan memori besar masa lalu sebagai inspirasi sehingga dapat bangkit kembali,” ujarnya.
Sukarjo menjelaskan, novel yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah tahun 2020 itu merupakan novel sejarah. Di dalamnya terdapat narasi-narasi yang menggambarkan kejadian-kejadian pada masa lampau.
“Memori kolektif kejayaan masa lalu mengenai Mataram, Majapahit, dan Demak menjadi bagian tak terpisahkan dalam novel tersebut. Penulis novel ini tentu telah melakukan riset untuk menghidupkan suasana dalam novelnya,” tambahnya.
Dia mengatakan, dalam novel tersebut ditemukan fakta-fakta sejarah. Namun, fakta sejarah itu tentu berbaur dengan imajinasi penulis. “Dengan demikian, terdapat perpaduan antara fakta sejarah dan imajinasi penulis,” tandasnya.
Lebih lanjut, Sukarjo mengungkapkan bahwa beberapa karya di atas terkait dengan isu identitas budaya hari ini sebagai buah dari demokratisasi, termasuk dalam konteks kebudayaan.
Menurut Stuart Hall bahwa identitas merupakan sebuah produk sosial dan Iayaknya sebuah produk maka identitas dapat dibentuk sesuai dengan dinamika sosial yang terjadi.
Bahkan sangat mungkin aktor dapat menjadi inovator bagi identitasnya sendiri. Hall menggagas teori proses pembentukan identitas dengan teori sirkuit budayanya.
Hall mengatakan bahwa pembentukan identitas merupakan proses yang terus berputar dan akan terus dimaknai berbeda sesuai dengan konteks sosial yang ada pada individu. ***
Komentar Terbaru