Karya sastra berperan penting sebagai penanda identitas kultural dan spiritual masyarakat di era modernisasi yang bergerak maju. Novel Sahal Japara Kuntul Nucuk Mbulan adalah salah satu karya terpenting dalam hal ini.
Novel ini berasal dari tradisi dan kepercayaan Pantura, terutama dari Desa Kajen, Kabupaten Pati, tempat Syekh Mutamakkin, ulama terkenal, lahir.
Novel Kuntul Nucuk Mbulan, yang diilhami oleh wejangan Syekh Mutamakkin, tidak hanya menceritakan kisah, tetapi juga menafsirkan kembali prinsip-prinsip sufistik dengan cara yang menghias di Masjid Kajen.
“Kuntul Nucuk Mbulan dan Sing Pendhitku Ngusap ing Mbun”, dua wejangan utama novel ini, berasal dari simbol visual dan inskripsi kuno pada mimbar masjid.
Dalam cerita, Mbah Jogo, pengasuh Pesantren Al Hikam, memberi amanat kepada seorang santri muda di Desa Kajen untuk memahami dua wejangan tersebut.
Perjalanan batin Paejan adalah cara untuk menemukan jati diri yang penuh dengan nilai-nilai sufistik yang khas dari pesantren.
Symbolik Sufistik dalam Cerita Santri
Wejangan Kuntul Nucuk Mbulan menggambarkan seekor burung kuntul yang mematuk cahaya rembulan di berbagai tempat.
Ini menjadi simbol tirakat spiritual, qanaah, dan keteguhan hati dalam upaya mencapai derajat yang lebih tinggi.
Sementara itu, Sing Pendhitku Ngusap ing Mbun adalah nasihat untuk siswa agar tetap rendah hati, meminta restu guru, dan ingat asal-usul belajar.
Kisah Paejan ditulis dengan gaya bahasa yang biasa digunakan oleh remaja pesantren dan menggambarkan kehidupan sehari-hari siswa di sekolah yang penuh dengan makna surat-suratan, gandul, dan konflik internal yang muncul selama proses belajar.
Novel ini tidak hanya fiksi, tetapi juga mengandung pengetahuan lokal dan keagamaan yang jarang ditemukan dalam narasi sastra populer arus utama.
Saat dihubungi, pengamat budaya dan akademisi Sukarjo Waluyo sangat mengapresiasi novel ini. Dia adalah seorang yang secara luas menyelidiki identitas masyarakat pesisir Jawa.
Sukarjo mengatakan Kuntul Nucuk Mbulan adalah contoh nyata bagaimana sastra dapat menjadi tempat untuk membaca kembali identitas lokal.
Menurut Sukarjo, Kamis (26/6/2027), “Novel ini menjadi tafsir kontemporer atas wejangan-wejangan spiritual masa lampau. Ini penting, karena masyarakat kita cenderung mewarisi nilai budaya tanpa proses reinterpretasi.”
Menurutnya, nasihat Syekh Mutamakkin telah dihidupkan kembali melalui cerita-cerita sastra.
Penulis tidak hanya menghidupkan kembali nilai-nilai lama, tetapi juga menyesuaikannya dengan keadaan sosial anak muda saat ini. Ini adalah upaya untuk menjaga tradisi sekaligus membangun hubungan antar generasi,” katanya.
Selain itu, Sukarjo mengatakan novel ini sangat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari santri.
“Simbol seperti kuntul dan embun bukan sekadar ornamen estetis, melainkan jalan menuju pemahaman diri yang lebih dalam,” katanya.
Novel Kuntul Nucuk Mbulan telah diterbitkan empat kali dan tersebar luas di toko buku di daerah Pati.
Novel ini tidak hanya populer di kalangan murid-murid, tetapi juga menjadi topik diskusi di madrasah, forum pengajian, dan peringatan Haul Syekh Mutamakkin.
Dalam situasi ini, tulisan tersebut lebih dari sekadar karya sastra; itu adalah rekaman nilai dan pedoman hidup masyarakat Kajen.
Sastra kadang-kadang tidak diucapkan, tetapi ia masuk ke dalam jiwa pembaca secara rahasia.
Kuntul Nucuk Mbulan menunjukkan bahwa tradisi dapat bertahan dan relevan selama ada yang mau menafsirkannya dengan hormat dan cinta.
Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum., selaku Ketua Prodi Sastra Indonesia FIB Undip, berharap kegiatan ini dapat menjadi inspirasi bagi rekan-rekan dosen lainnya untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan untuk meningkatkan popularitas Prodi Sastra Indonesia. (Anin)
Komentar Terbaru