Rangkaian Summer Course 2022 yang diselenggarakan FIB UNDIP, dari 8 Agustus hingga 14 Agustus 2022, telah memasuki pada hari keempat. Mengangkat topik “Traditional Arts as Indonesian Cultural Heritage”, para peserta masih hadir dengan antusiasme yang masih sama tingginya dari hari pertama. Salah satu hal yang membuat antusiasme peserta masih konsisten tentunya adalah materi menarik yang disampaikan oleh para pembicara tentang kesenian tradisional Indonesia. Hari keempat ini, kedua pembicara, Dr. Dhanang Respati Puguh, M.Hum. dan Dr. Ken Widyatwati, M.Hum. dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro menawarkan materi menarik tentang kesenian tradisional daerah Jawa Tengah.
Pemateri pertama pada hari keempat, Dr. Dhanang Respati Puguh, M.Hum. dari prodi Sejarah Undip, memperkenalkan Seni Gambang Semarang pada para peserta. Dr. Dhanang Respati Puguh, M.Hum. menjelaskan bahwa kesenian Gambang Semarang bukanlah kesenian asli dari Semarang tetapi berasal dari pengaruh dan interaksi dari Gambang Kromong Jakarta. Menurut pembicara, Gambang Kromong sendiri bukanlah kesenian asli penduduk pribumi tetapi perpaduan dari unsur-unsur seni masyarakat Tionghoa dan pribumi.
Kesenian ini, Gambang Semarang, masuk dan mulai melembaga pada tahun 1930-an atas usaha dari sosok bernama Lie Hoe Soen dan kawan-kawannya yang berkeinginan “menciptakan” kesenian khas Semarang. Di awal permulaannya, atas persetujuan Walikota Semarang, didatangkan pelatih dan beberapa seniman Gambang Kromong serta peralatannya dari Jakarta. Setelahnya, dalam perkembangannya, perkumpulan Gambang Kromong di Semarang perlahan dikenal dengan nama Gambang Semarang.
Kemunculan kelompok-kelompok seni Gambang Semarang mengalami jatuh-bangun. Periode keemasan Gambang Semarang berada pada periode 1960-1970an. Meski begitu, periode 1990an adalah masa penurunan Gambang Semarang. Dari keprihatinan itu, banyak pihak berusaha ikut serta melestarkan dan mengembangkannya sampai sekarang. Gambang Semarang sendiri adalah seni pertunjukkan kerakyatan yang menarik karena merupakan menunjukkan perpaduannya antara seni musik, suara (vokal), tari, dan lawak.
Setelah penjabaran tentang Gambang Semarang, materi selanjutnya dipaparkan oleh Dr. Ken Widyatwati, M.Hum. yang menjelaskan perihal sintren. Dr. Ken Widyatwati, M.Hum. menjelaskan perihal sintren mulai dari etimologi, legenda, hingga penampilannya pada saat ini. Di akhir pemaparan materi, peserta ditunjukkan pula video penari sintren beserta gelarannya.
Pemaparan terkait sintren dimulai dari penjelasan etimologis yang menjelaskan bahwa ‘sintren’ terdiri dari dua kata, yaitu ‘si’ dan ‘tren’. Kata ‘si’ bermakna ‘dia’ sedangkan kata ‘tren’ (tri) memiliki arti ‘putri’. Jadi, kata ‘sintren’ berarti seorang putri yang menjadi pemeran utama tarian. Lebih lanjut, sintren merupakan kesenian tradisional masyarakat Jawa Tengah, khususnya wilayah pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, antaranya: Pemalang, Pekalongan, Brebes, Banyumas, Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Jatibarang. Kesenian ini sendiri dikenal sebagai tarian yang memiliki magis atau lekat dengan hal mistis.
Legenda dari sintren sendiri, menurut pembicara, lekat dengan hubungan kisah cinta antara Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Dewi Rantamsari. Dulunya, sintren diadakan sebagai pertunjukan tari ketika ada upacara bersih desa. Hal yang berbeda saat ini sebab sintren dapat menjadi suatu pertunjukan tari semata tanpa ada acara khusus. Pertunjukan sintren memiliki syarat khusus terkait pemilihan penari utamanya. Syarat untuk menjadi penari utama harus masih gadis atau perawan karena penari harus dalam keadaan suci.
Sintren digelar dengan diiringi gamelan yang menandakan dimulainya pertunjukan. Lalu, lanjutan tahapan sintren adalah berdoa dan membakar dupa yang dilakukan oleh sang pawang. Pertunjukan ini berisikan 1 penari utama yang diiringi oleh 4 penari. Dalam proses pertunjukan, penari utama dimasukkan dalam kurungan (sangkar) dan akan mengalami tahap kesurupan (trance). Setelahnya, kurungan dibuka dan penari utama akan menampilkan tarian yang terkadang juga tampak akrobatik sebab penari melakukan tariannya di atas sangkar. Tahap penari yang sedang kesurupan dan menari inilah yang membuat tari sintren lekat dengan sifat magis religius. Untuk mengakhiri pertunjukan, penari utama akan kembali dimasukkan dalam kurungan. Lalu, sang pawang akan membawa anglo berisi kemenyan serta membaca mantra-mantra sampai penari sintren sadar kembali. Ketika telah sadar, pertunjukkan sintren pun selesai ditampilkan.
Setelah dua pemaparan materi dari kedua pembicara, para peserta tampak antusias. Beberapa pertanyaan dan diskusi menutup rangkaian acara Summer Course di hari keempat dan akan terus berlanjut sampai akhir acara di hari Minggu, 14 Agustus 2022. (YF)
Komentar Terbaru