Antologi Cerpen Senandika: Memoar Pascakampus menjadi sebuah karya yang diperbincangkan pada 15 Oktober 2022. Ditulis oleh 23 alumni FIB UNDIP, para penulisnya menggandeng Dr. Sukarjo Waluyo, M.Hum., Fikri Widiastuty Utami, S.S., dan Roh Agung Dwi W., sebagai narsumber yang membahas kerinduan terhadap ‘kisah-kasih’ di kampus dan setelahnya. Dengan menggunakan subtema Memoar Pascakampus, antologi cerpen ini memantik rasa rindu terhadap kehidupan dunia kampus dan bagaimana kerinduan itu kembali tercermin pada ruang-ruang perjalanan setelah lulus dari kampus.

Dr. Sukarjo Waluyo, M.Hum. menyoroti adanya keluasan alam, keindahan dunia, dan kehidupan yang senantiasa bergerak dari antologi Senandika: Memoar Pascakampus. Estetika yang kemudian terbentuk sebagai sebuah kisah tidak akan lepas dari adanya romansa yang menjadi bumbu di dalamnya. Kisah-kisah romantis dalam berbagai sudut pandang menjadi bagian dari perjalanan kehidupan yang membangun diri dan cerita dari para penulisnya.

Lebih lanjut, Dr. Sukarjo Waluyo, M.Hum. juga menjelaskan bahwa cerpen ini mengandung nilai perjalanan. Hal ini terkait adanya maksud pergerakan ruang yang dapat dipotret di dalamnya. Perjalanan ruang bisa ditemukan dalam perpindahan seseorang dari konstruksi kampus kepada kota, provinsi, hingga lintas benua. Sorotan ini menjadi penting menurut Dr. Sukarjo Waluyo, M.Hum. sebagaimana terlihat dari profesi dan tempat tinggal para penulisnya yang kini sangat beragam.

Antologi Senandika: Memoar Pascakampus ini sekaligus menjadi ruang pertemuan kembali bagi para penulisnya untuk mengenang kehidupan di kampus yang sama-sama mereka cintai. UNDIP sebagai ruang pertemuan itu menjadi sentral yang menampung ide-ide keluasan alam pikiran dari para penulisnya. Tentu saja, pertemuan ini bersifat ideologis dan naratif yang memperlihatkan beragam dunia pengalaman yang dikumpulkan secara kolektif. WS Ningrum misalnya, sebagai alumni FIB UNDIP yang kini menjadi seorang Dosen di Universitas Palangkaraya akan memperoleh dua ruang kehidupan di masa ia masih sebagai mahasiswa di UNDIP dan bagaimana itu membangun diri dan narasinya setelah kini menjadi dosen. Selain WS Ningrum, pengalaman Firas Sabila Nuraini tentu memiliki kontribusi naratif yang berbeda, terutama setelah kini ia menjadi seorang konsultan di PT AUN Wahana Jaya.

Ruang-ruang pengalaman yang beragam ini juga menjadi sebuah pembahasan yang tidak dilepaskan oleh kedua narasumber lain. Sebagai seorang pegiat literasi, Fikri Widiastuty Utami, S.S. juga mengambil pemahaman pengalaman naratif para kontributor dalam antologi Senandika: Memoar Pascakampus. Persetujuan yang serupa juga diungkapkan oleh Roh Agung dwi W. dengan pengalamannya menulis Monolog Bersama Hati.

Kegiatan bedah buku yang dilaksanakan secara daring ini pun mendapat apresiasi dari para penonton yang sedang mengalami hal serupa. Para alumni yang datang secara virtual ikut resap dalam kerinduan kehidupan semasa masih di kampus. Hal serupa menjadi sebuah refleksi masa depan bagi para mahasiswa yang ikut menyaksikan Launching dan Bedah Buku Antologi Cerpen Senandika: Memoar Pascakampus.(Hamdan)