Local wisdom atau kearifan lokal yang hidup di masyarakat sampai saat ini meredefinisi dirinya menjadi sebuah pembahasan, apakah benar pada masa kini masih terdapat banyak kearifan lokal yang bertahan atau justru semakin tenggelam. Melalui webinar internasional yang diselenggarakan pada hari Selasa, 9 Agustus 2022 bertajuk “Rekonstruksi Local wisdom Nusantara: Kajian Bahasa dan Budaya”, webinar ini mengangkat pembahasan menarik, terutama dengan kehadiran dua pembicara yang diakui sepak terjangnya dalam dunia kebudayaan. Acara menjadi program Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro ini mengajak para peserta webinar untuk berpikir kembali, bagaimana bentuk-bentuk kearifan lokal yang masih eksis hingga mempertanyakan ulang tentang bagaimana local wisdom di masa kini.
Acara dimulai pukul 13.00 WIB yang dimulai dengan sambutan Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. (Ketua Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro) dan Dr. Nurhayati, M.Hum. (Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro). Keduanya mengungkapkan kearifan lokal atau local wisdom pada era sekarang ini. Satu diskursus yang menarik saat modernitas begitu kewalahan menghadapi masalah-masalah kemanusiaan kekinian. Pandemi Covid-19 membuktikan bahwa kita perlu menilik kembali kearifan lokal kita. Satu kekayaan kebudayaan manusia dan harta karun yang telah terbukti ampuh dalam perjalanan panjangnya.
Acara dipandu oleh Drs. Muzakka, M.A. seorang filolog di Prodi Sastra Indonesia. Pembicara utama adalah Prof. Dr. Mudjahirin, M.A., seorang antropolog dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Beliau menawarkan strategi bagaimana mereaktualisasi dan merekonstruksi local wisdom untuk merumuskan kebudayaan di masa kini dan masa depan. Untuk itu, dibutuhkan sinergi antara mahasiswa, dosen ,dan penguasa untuk melaksanakannya serta mengangkat isu tentang lokal wisdom secara teoritik dan praktis. Kajian tentang rekonstruksi local wisdom perlu diungkap dengan melihat konstruksinya yang mulai berubah.
“Bukan romantisme tentang masa lalu lewat local knowlegde tapi bagaimana local knowledge itu menjadi relevan dan aktual untuk masa ke depannya. Kita bisa mengubah peradaban justru melewati sebuah proses bernama kebudayaan.” begitu kata Prof. Mudjahirin ketika menyampaikan pemikirannya sebagai pembicara pembuka.
Lebih lanjut, Prof. Mudjahirin mengatakan bahwa local wisdom pada masa kin perlu dicari relevansinya agar tidak tertinggal. Banyak masyarakat yang justru dekat dengan pemikiran deterministik yang justru salah karena saat ini telah banyak berkembang cerita from zero to hero. Butuh ahli sastra untuk merekonstruksikannya supaya tidak menjadi pemikiran yang tertinggal dan hal tersebut dilakukan untuk keseimbangan antara ideal culture dengan factual culture.
Pembicara kedua merupakan dosen dari University of Social Sciences and Humanities, Vietnam National University, Ho Chi Minh City. Dr. Nguyen Thanh Tuan, M.Hum. atau akrab disapa Pak Tuan. Ia membawakan materi mengenai suku di Vietnam, terutama suku Raglai yang ternyata memiliki beberapa kosa-kata yang hampir sama dengan bahasa Indonesia. Pak Tuan juga mengungkapkan tradisi kebudayaan di suku Raglai yang unik yaitu menomorsatukan perempuan dari segala sisi.
“Tradisi suku Raglai hampir sama dengan yang ada di Indonesia. Anak dalam suku Raglai otomatis mengambil marga ibunya. Begitupun untuk ketua klan juga berasal dari perempuan.” tutur beliau saat membawakan presentasinya mengenai posisi antara perempuan dan laki-laki. Beberapa suku di Indonesia yang memiliki tradisi hampir sama dengan suku Raglai, di antaranya suku Minangkabau di Padang, suku Engggano di pulau Enggano, suku Petalangan di Aceh, suku Aneuk Jamee di Aceh, dan suku Sakai di Riau.
Pembahasan menjadi lebih menarik saat peserta seminar mulai melontarkan pertanyaan mengenai rekonstruksi local wisdom, terutama untuk beberapa tradisi di Indonesia yang masih eksis, hingga mempertanyakan tradisi pernikahan di suku Raglai, Vietnam. Beberapa agama yang eksis di Vietnam sangat terbuka mengenai pernikahan, utamanya pernikahan beda agama. Begitu juga untuk kebijakan pemerintah mengenai pembebasan masyarakatnya untuk memeluk agama. Vietnam pada realitasnya memperbolehkan semua agama di dunia untuk dipeluk oleh warganya. Multikulturalisme ini tentu membuat beberapa partisipan terkejut dan juga tertarik karena di Indonesia sendiri tradisi pernikahan antaragama masih dapat dikatakan tabu.
Prof. Mudjahirin melihat dari frame teoritik bahwa local wisdom merupakan warisan budaya. Dengan mengungkapkan cerita mistis yang hidup di masyarakat, Prof. Mudja mengembalikan fenomena tersebut kepada definisi ulang tentang apa itu local wisdom. Beberapa contoh yang dilontarkan adalah mengenai siang dan malam, apabila siang adalah representasi manusia maka malam ada representasi setan. Pada siang hari manusia banyak beraktivitas, sedangkan pada malam hari waktunya setan yang beraksi. Padahal hal ini dapat dijelaskan secara teoritis dengan verifikasi. Yang profan akan menjadi alat bagi penguasa untuk menekan yang sakral saat tidak ada kesadaran tentang pentingnya menjaga local wisdom.
Menurut Dwi, salah satu partisipan dari Universitas Negeri Malang, mengatakan bahwa beberapa tradisi lokal di tempatnya masih dilaksanakan hingga kini. Namun, rekonstruksi perlu adanya perspektif kebaruan sehingga bisa diarahkan pada usaha ekonomi dalam ‘membarengi’ tradisi lokal tersebut. Dwi menyebutkan bahwa yang sakral ini pun dapat disandingkan dengan yang profan dengan membangun unsur multikulturalisme. Ada seni dan tradisi Jawa, Tionghoa, hadrah, barongsai yang kemudian membangun adanya toleransi”, papar Dwi dalam penyampaiannya mengenai multikulturalisme budaya.
Acara ditutup dengan jawaban apik mengenai tradisi lokal di Indonesia dan juga tradisi lokal di Vietnam. Ajakan untuk melihat kembali secara serius keberadaan local wisdom dari berbagai sisi menjadikan penutup pada pembahasan webinar yang berhasil menarik sekitar 80 partisipan. (Ikom)
Komentar Terbaru